|
KONSEP
DASAR
A. PENGERTIAN
Hernia merupakan protusi atau penonjolan
isi suatu rongga melalui defek atau bagian lemah dari dinding rongga
bersangkutan (Sjamsuhidajat, 1997, hal 700).
Hernia adalah penonjolan serat atau ruas
organ atau jaringan melalui lubang yang abnormal (Dorlan, 1994,hal 842)
Hernia adalah keluarnya bagian dalam
dari tempat biasanya. Hernia scrotal adalah burut lipat pada laki-laki yang
turun sampai ke dalam kantung buah zakar (Laksman, 2002, hal 153).
Hernia scrotalis
merupakan hernia inguinalis lateralis yang mencapai scrotum. ( Sjamsuhidajat,
1997, hal 717 )
Post adalah
awalan yang menyatakan setelah atau di belakang. (Dorlan, 1994,hal 1477)
Operasi merupakan pembedahan, setiap tindakan yang dikerjakan oleh ahli
bedah, khususnya tindakan yang memakai alat-alat. (Ramali dan Pamoentjak, 2000, hal 244)
Dextra merupakan istilah yang menyatakan sesuatu yang berada disebelah
kanan dari dua struktur yang serupa atau yang berada disebelah kanan tubuh. (Dorlan, 1994,hal 517)
Dari pengertian
diatas dapat disimpulkan bahwa post operasi hernia scrotalis dextra adalah hernia
inguinalis lateralis dimana penonjolan serat atau ruas organ atau jaringan yang
melalui defek atau bagian lemah dari dinding rongga yang bersangkutan mencapai
scrotum bagian kanan dan telah dilakukan tindakan pembedahan oleh ahli bedah.
B. KLASIFIKASI
Menurut Sachdeva (
1996, hal 232-234) menklasifikasikan hernia sebagai berikut ;
1. Hernia
Reponiblis
|
2. Hernia
Ireponiblis
Apabila isinya tidak dapat dikembalikan ke dalam abdomen
dan tidak tampak adanya komplikasi.
3. Hernia
Obstruksi
Merupakan hernia ireponiblis yang berisi usus dimana
lumennya mengalami onstruksi dari luar atau adanya gangguan suplai darah dari
usus.
4. Hernia
Strangulasi
Hernia akan mengalami strangulasi bila suplai darah
terhadap isinya sangat terganggu yang
dapat mengakibatkan gangren.
Adapun tindakan yang digunakan untuk
mengatasi hernia ada 2 macam yaitu;
1. Tindakan
konservatif
Yaitu tindakan dengan melakukan reposisi dan pemakaian penyangga atau penunjang untuk
mempertahankan isi hernia.
2. Tindakan
definitive
Tindakan definitive untuk mengatasi hernia berupa operasi
yang dilakukan dibawah anestesi umum atau spinal. Dengan melakukan insisi pada
garis linear di atas kanalis inguinalis yaitu 1 inci diatas dan sejajar
terhadap 2/3 medial ligamentum inguinalis. Adapun prinsip dasar operasi hernia terdiri dari
Herniotomi dan Herniorapi.
a. Herniotomi
Merupakan operasi pemotongan untuk memperbaiki hernia.
b. Herniorapi
Herniorapi yaitu dengan melakukan perbaikan pada dinding
posterior tanpa menggunakan bahan asesoris. Apabila dalam melakukan perbaikan dinding posterior
menggunakan bahan asesoris maka disebut dengan Hernioplasti.
C. ETIOLOGI
Hernia scrotalis
dapat terjadi karena anomali kongenital atau karena sebab yang didapat
(akuistik), hernia dapat dijumpai pada setiap usia, prosentase lebih banyak
terjadi pada pria, berbagai faktor penyebab berperan pada pembukaan pintu masuk
hernia pada anulus internus yang cukup lebar sehingga dapat dilalui oleh
kantung dan isi hernia, disamping itu disebabkan pula oleh faktor yang dapat
mendorong isi hernia melewati pintu yang sudah terbuka cukup lebar tersebut.
Faktor yang dapat dipandang berperan
kausal adalah adanya peninggian tekanan di dalam rongga perut, dan kelemahan
otot dinding perut karena usia, jika kantung hernia inguinalis lateralis
mencapai scrotum disebut hernia scrotalis.(Sjamsuhidajat , Jong, 1997, hal 706)
Penyebab lain yang memungkinkan
terjadinya hernia adalah:
1. Hernia
inguinalis indirect, terjadi pada suatu kantong kongenital sisa dan prosesus
vaginalis.
2. Kerja otot yang terlalu kuat.
3. Mengangkat
beban yang berat.
4. Batuk
kronik.
5. Mengejan sewaktu miksi dan defekasi.
6. Peregangan otot abdomen karena meningkatkan tekanan intra
abdomen (TIA) seperti: obesitas dan kehamilan.
Indikasi
pelaksanaan operasi adalah pada semua jenis hernia, hal ini dikarenakan penggunaan
tindakan konservatif hanya terbatas pada hernia umbilikalis pada anak sebelum
usia dua tahun dan pada hernia ventralis. Tindakan operasi dilakukan pada
hernia yang telah mengalami stadium lanjut yaitu;
1. Mengisi kantong scrotum
2. Dapat menimbulkan nyeri epigastrik karena turunnya
mesentrium.
3. Kanalis inguinalis luas pada hernia tipe ireponibilis.
Pada hernia reponibilis dan
ireponibilis dilakukan tindakan bedah karena ditakutkan terjadinya komplikasi,
sedangkan bila telah terjadi strangulasi tindakan bedah harus dilakukan secepat
mungkin sebelum terjadinya nekrosis usus.
(Sachdeva, 1996, hal 235
– 236 ; Mansjoer, 2000, hal 315)
D. PATOFISIOLOGI
Kanalis inguinalis adalah kanal yang
normal pada fetus pada bulan ke-8 kehamilan, terjadi desensus testis melalui
kanal tersebut, akan menarik perineum ke daerah scrotum sehingga terjadi
penonjolan peritoneum yang disebut dengan prosesus vaginalis peritonei, pada
bayi yang baru lahir umumnya prosesus ini telah mengalami obliterasi sehingga
isi rongga perut tidak dapat melalui kanalis tersebut, namun dalam beberapa hal
seringkali kanalis ini tidak menutup karena testis kiri turun terlebih dahulu,
maka kanalis inguinalis kanan lebih sering terbuka, bila kanalis kiri terbuka
maka biasanya yang kanan juga terbuka dalam keadaan normal, kanalis yang terbuka
ini akan menutup pada usia 2 bulan.
Bila prosesus terbuka terus (karena
tidak mengalami obliterasi) akan timbul hernia inguinalis lateralis congenital.
Pada orang tua kanalis tersebut telah menutup namun karena merupakan lokus
minoris persistence, maka pada keadaan yang menyebabkan tekanan intra abdominal
meningkat, kanalis tersebut dapat terbuka kembali dan timbul hernia inguinalis
lateral akuisita. Keadaan yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan intra
abdominal adalah kehamilan, batuk kronis, pekerjaan mengangkat beban berat,
mengejan pada saat defekasi, miksi misalnya pada hipertropi prostate.
Apabila isi hernia keluar melalui rongga
peritoneum melalui anulus inguinalis internus yang terletak lateral dari
pembuluh epigastrika inferior kemudian hernia masuk ke dalam hernia kanalis
inguinalis dan jika cukup panjang, menonjol keluar dari anulus inguinalis
eksternus, dan bila berlanjut tonjolan akan sampai ke scrotum yang disebut juga
hernia scrotalis.
Tindakan bedah pada hernia dilakukan
dengan anestesi general atau spinal sehingga akan mempengaruhi sistem saraf
pusat (SSP) yang berpengaruh pada tingkat kesadran, depresi pada SSP juga
mengakibatkan reflek batuk menghilang. Selain itu pengaruh anestesi juga
mengakibatkan produksi sekret trakeobronkial
meningkat sehingga jalan nafas terganggu, serta mengakibatkan
peristaltik usus menurun yang berakibat pada mual dan muntah, sehingga beresiko
terjadi aspirasi yang akan menyumbat jalan nafas.
Prosedur bedah akan
mengakibatkan hilang cairan, hal ini karena kehilangan darah dan kehilangan
cairan yang tidak terasa melalui paru-paru dan kulit. Insisi bedah
mengakibatkan pertahanan primer tubuh tidak adekuat (kulit rusak, trauma
jaringan, penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh), luka bedah sendiri juga
merupakan jalan masuk bagi organisme patogen sehingga sewaktu-waktu dapat
terjadi infeksi.
Rasa nyeri timbul
hampir pada semua jenis operasi, karena terjadi torehan, tarikan, manipulasi
jaringan dan organ. Dapat juga terjadi karena kompresi / stimulasi ujung syaraf
oleh bahan kimia yang dilepas pada saat operasiatau karena ischemi jaringan
akibat gangguan suplai darah ke salah satu bagian, seperti karena tekanan,
spasmus otot atau hematoma.
(Mansjoer, 2000, hal 314 ; Sjamsuhidajat,1997, hal 704 ;
Long,1996, hal 55 – 82).
E. MANIFESTASI
KLINIK
Pada umumnya keluhan
pada orang dewasa berupa benjolan di lipat paha, benjolan tersebut bisa
mengecil dan menghilang pada saat istirahat dan bila menangis, mengejan,
mengangkat beban berat atau dalam posisi berdiri dapat timbul kembali, bila
terjadi komplikasi dapat ditemukan nyeri, keadaan umum biasanya baik pada
inspeksi ditemukan asimetri pada kedua sisi lipat paha, scrotum atau pada labia
dalam posisi berdiri dan berbaring pasien diminta mengejan dan menutup mulut
dalam keadaan berdiri palpasi dilakukan
dalam keadaan ada benjolan hernia, diraba konsistensinya dan coba didorong
apakah benjolan dapat di reposisi dengan
jari telunjuk atau jari kelingking pada anak-anak, kadang cincin hernia dapat
diraba berupa annulus inguinalis yang melebar.
Pemeriksaan melalui
scrotum, jari telunjuk dimasukkan ke atas lateral dari tuberkulum pubikum,
ikuti fasikulus spermatikus sampai ke anulus inguinalis internus pada keadaan
normal jari tangan tidak dapat masuk, bila masa tersebut menyentuh ujung jari
maka itu adalah hernia inguinalis lateralis, sedangkan bila menyentuh sisi jari
maka itu adalah hernia inguinalis medialis (Mansjoer, 2000, hal 314 ; Kusala,
2007, http://www.kalbe.co.id/files)
Pada umumnya terapi operatif merupakan terapi satu-satunya yang rasional.
Beberapa masalah yang sering terjadi pada fase post operasi antara lain; kesadaran
menurun, sumbatan saluran nafas, hipoventilasi, hipotensi , aritmi cardiak, shock,
nyeri, distensi kandung kencing, cemas, aspirasi isi lambung.
Tindakan
operatif dilakukan dengan melakukan insisi pada tubuh sehingga tubuh memerlukan
waktu untuk penyembuhan luka. Luka
bedah karena dilakukan dengan disertai teknik asepsis pada umumnya
penyembuhannya lancar dan cepat.
Ada
empat fase penyembuhan luka; fase I penyembuhan luka, lekosit mencerna bakteri
dan jaringan rusak. Fibrin tertumpuk pada gumpalan yang mengisi luka dan
pembuluh darah tumbuh pada luka dari benang fibrin sebagai kerangka. Luka
kekuatannya rendah tapi luka yang dijahit akan menahan jahitan dengan baik.
Pasien akan terlihat dan merasa sakit pada fase ini yang berlangsung selama 3
(tiga) hari.
Fase II
berlangsung 3 – 14 hari setelah pembedahan. Lekosit mulai menghilang, semua
lapisan epitel mulai beregenerasi selengkapnya dalam 1 (satu) minggu. Jaringan
baru memiliki sangat banyak jaringan vaskuler, jaringan ikat berwarna kemerah-merahan
karena banyak pembuluh darah dan mudah terjadi perdarahan, pasien akan terlihat
lebih baik. Tumpukan kolagen serabut protein putih akan menunjang luka dengan
baik dalam 6 – 7 hari. Jadi jahitan diangkat pada waktu ini, tergantung pada
tempat dan luasnya bedah.
Pada
fase III kolagen terus bertumpuk. Hal ini akan menekan pembuluh darah baru dan
arus darah menurun. Luka sekarang terlihat seperti berwarna merah jambu yang
luas. Pada fase ini yang kira-kira berlangsung dari minggu ke dua sampai minggu
ke enam post operasi, pasien harus menjaga agar tidak menggunakan otot yang
terkena.
Fase
terakhir, fase ke IV berlangsung beberapa bulan post operasi. Pasien akan
mengeluh gatal diseputar luka. Kolagen terus menimbun pada waktu ini, luka menciut
dan menjadi tegang. Bila luka dekat persendian akan terjadi kontraktur.
(Long,1996,
hal 70 – 86)
F. KOMPLIKASI
Komplikasi hernia bergantung
pada keadaan yang dialami oleh isi hernia. Antara lain obstruksi usus sederhana
hingga perforasi (lubangnya) usus yang akhirnya dapat menimbulkan abses local,
fistel atau peritonitis.
Sedangkan
komplikasi operasi hernia dapat berupa cidera vena femoralis, nervus
ilioinguinalis, nervus iliofemoralis, duktus deferens, atau buli-buli bila
masuk pada hernia geser. Nervus ilioinguinalis harus dipertahankan sejak
dipisahkan karena jika tidak, maka dapat timbul nyeri pada jaringan parut
setelah jahitan dibuka.
Komplikasi dini
setelah operasi dapat pula terjadi, seperti hematoma, infeksi luka, bendungan
vena, fistel urine atau feses, dan residif. Komplikasi lama merupakan atrofi
testis karena lesi arteri spermatika atau bendungan pleksus pampiniformis, dan
yang paling penting, terjadinya residif (kekambuhan). Insiden dari residif
begantung pada umur pasien, letak hernia, teknik yang digunakan dalam
pembedahan dan cara melakukannya.
(Sjamsuhidajat,
1997, hal 718-719)
G. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
1. Pemeriksasaan darah
a. Lekosit ; peningkatan jumlah lekosit mengindikasikan
adanya infeksi.
b. Hemoglobin ; Hemoglobin yang rendah dapat mengarah pada
anemia/kehilangan darah.
c. Hematokrit ; peningkatan hematokrit mengindikasikan
dehidrasi
d. Waktu koagulasi ; Mungkin diperpanjang, mempengaruhi
hemostasis intraoperasi/pascaoperasi.
2. Urinalisis
BUN, Creatinin, munculnya SDM atau bakteri
mengindikasikan infeksi.
3. GDA
Mengevaluasi status
pernafasan terakhir.
4. EKG
Untuk mengetahui
kondisi jantung.
H.
PATHWAYS
KEPERAWATAN
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
I. FOKUS
KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Status
Respiratori
Kebebasan saluran
nafas, kedalaman bernafas, kecepatan, sifatnya. Bunyi
nafas : ada dan sifatnya.
b. Status
Sirkulatori
Nadi, tekanan
darah, suhu, warna kulit, pengisian kapiler.
c. Status
Neurologis
Tingkat kesadaran, penurunan
tingkat kesadaran merupakan gejala shock dan harus segera dilaporkan kepada
ahli bedah dan disertai gejala lain yang jelas.
d. Balutan
Keadaan balutan,
terdapat drain, terdapat selang yang harus disambung dengan system drainase.
e. Kenyamanan
Terdapat nyeri,
mual, muntah, sikap tidur yang nyaman dan memperlancar ventilasi.
f. Keamanan
Terdapat pengaman pada tempat
tidur, alergi atau sensitive terhadap obat, makanan,
plester, larutan. Munculnya proses infeksi ; demam.
(Long,
1996, hal 60)
2. Diagnosa
Keperawatan dan Intervensi
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul dan intervensi
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan
peningkatan sekresi trakeobronkial sekunder terhadap efek anestesi; batuk tidak
efektif sekunder terhadap depresi SSP atau nyeri dan splinting otot.
Kriteria
Hasil :
1) Jalan napas pasien bersih, ditandai dengan bunyi napas
normal pada auskultasi.
2) RR : 12 – 20 X / menit dengan kedalaman dan pola normal.
Intervensi
:
1) Pertahankan jalan nafas pasien dengan meletakkan pasien
pada posisi yang sesuai.
Rasional : Mencegah obstruksi jalan nafas. Elevasi kepala
dan posisi miring akan mencegah terjadinya aspirasi dari muntah, posisi yang
benar akan mendorong ventilasi pada lobus paru bagian bawah dan menurunkan
tekanan pada diafragma.
2) Observasi frekwensi, kedalaman pernafasan dan pemakaian
otot bantu pernafasan.
Rasional : Dliakukan
untuk memastikan efektivitas pernafasan sehingga upaya memperbaikinya dapat
segera dilakukan.
3) Observasi pengembalian fungsi otot, terutama otot-otot
pernafasan .
Rasional : Setelah
pemberian obat – obat relaksasi otot selama masa intraoperatif, pengembalian fungsi otot pertama kali terjadi pada diafragma, otot interkostal, yang
akan diikuti dengan relaksasi kelompok otot–otot utama seperti leher, bahu, dan
otot–otot abdominal, selanjutnya diikuti oleh otot – otot berukuran sedang seperti lidah, faring, otot – otot ekstensi dan fleksi
dan diakhiri oleh mata, mulut wajah dan jari – jari tangan.
4) Lakukan penghisapan lendir jika diperlukan
Rasional : Obstruksi
jalan nafas dapat terjadi karena adanya darah atau mukus dalam tenggorokan atau
trakea.
5) Kolaborasi pemberian tambahan oksigen sesuai kebutuhan.
Rasional : dilakukan untuk meningkatkan pengambilan
oksigen yang akan diikat oleh Hb.
b. Gangguan rasa nyaman (nyeri) sehubungan dengan kompresi syaraf, prosedur bedah.
Kriteria hasil:
1) Melaporkan nyeri hilang dan terkontrol.
2) mengungkapkan metode yang memberi penghilangan.
3) mendemonstrasikan
penggunaan intervensi terapeutik.
Intervensi:
1) Kaji adanya keluhan nyeri, catat lokasi lamanya serangan,
faktor pencetus atau yang memperberat
Rasional : Membantu menentukan pilihan intervensi dan
memberikan dasar untuk perbandingan dan evaluasi terhadap terapy.
2) Pertahankan tirah baring selama fase akut letakkan pasien
pada posisi semi fowler dengan tulang spinal, pinggang dan lutut dalam keadaan
fleksi atau posisi terlentang dengan atau tanpa meninggikan kepala 10-30 derajat.
Rasional : Tirah baring dalam posisi yang nyaman
memungkinkan pasien untuk menurunkan spasme otot menurunkan penekanan pada
bagian tubuh tertentu.
3) Batasi
aktivitas selama fase akut sesuai dengan kebutuhan
Rasional : Menurunkan gaya gravitasi dan gerak yang dapat
menghilangkan spasme otot dan menurunkan edema dan tekanan.
4) Instruksikan pada pasien untuk melakukan teknik relaksasi
atau visualisasi
Rasional : Memfokuskan perhatian klien membantu
menurunkan tegangan otot dan meningkatkan proses penyembuhan.
5) Kolaborasi
dalam pemberian therapy
Rasional : Intervensi
cepat dan mempercepat proses penyembuhan.
c. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan
aliran darah pembentukan hematoma.
Kriteria hasil:
Melaporkan atau mendemonstrasikan situasi normal.
intervensi:
1) Lakukan penilaian terhadap fungsi neurologist secara
periodik
Rasional : Penurunan
atau perubahan mungkin mencerminkan resolusi edema, inflamasi sekunder.
2) Pertahankan
pasien dalam posisi terlentang sempurna selama beberapa jam
Rasional : Penekanan pada daerah operasi dapat menurunkan
resiko hematoma.
3) Pantau tanda-tanda vital, catat kehangatan, pengisian
kapiler
Rasional : Perubahan kecepatan nadi mencerminkan
hipovolemi akibat kehilangan darah, pembatasan pemasukan oral, mual, muntah.
4) Kolaborasi
dalam pemberian cairan atau darah sesuai indikasi
Rasional : Terapi cairan pengganti tergantung pada
derajat hipovolemi.
d. Koping individu tidak efektif (ansietas) sehubungan
dengan krisis situasional, perubahan status kesehatan
Kriteria hasil:
1) Tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang.
2) Mengkaji situasi terbaru dengan akurat mendemonstrasikan
ketrampilan pemecahan masalah.
Intervensi:
1) Kaji tingkat ansietas klien, tentukan bagaimana pasien
menangani masalahnya sebelumnya dan sekarang
Rasional : Mengidentifikasi keterampilan untuk mengatasi
keadaannya sekarang.
2) berikan
informasi yang akurat
Rasional : Memungkinkan
pasien untuk membuat keputusan yang didasarkan pada pengetahuannya.
3) berikan kesempatan pada klien untuk mengungkapkan masalah
yang dihadapinya
Rasional : Kebanyakan pasien mengalami permasalahan yang
perlu diungkapkan dan diberi respon.
4) Catat perilaku dari orang terdekat atau keluarga yang
meningkatkan peran sakit pasien
Rasional : Orang terdekat mungkin secara tidak sadar
memungkinkan pasien untuk mempertahankan ketergantungannya.
e. Kerusakan mobilitas fisik sehubungan dengan nyeri, spasme
otot.
Kriteria hasil:
Mengungkapkan pemahaman tentang situasi atau faktor
resiko dan aturan pengobatan individual.
Intervensi:
1) Berikan tindakan pengamanan sesuai indikasi dengan
situasi yang spesifik
Rasional : Tergantung pada bagian tubuh yang terkena,
jenis prosedur yang kurang hati-hati akan meningkatkan kerusakan.
2) Catat respon emosi atau perilaku pada saat immobilisasi,
berikan aktivitas yang disesuaikan dengan pasien
Rasional : Immobilitas yang dipaksakan dapat memperbesar
kegelisahan, peka terhadap rangsang.
3) Bantu pasien dalam melakukan aktivitas ambulasi progresif
Rasional : Keterbatasan aktivitas tergantung pada
kondisi dan berkembang sesuai dengan
toleransi.
4) Ikuti
aktivitas atau prosedur dengan periode istirahat
Rasional : Meningkatkan penyembuhan dan membentuk
kekuatan otot.
5) Berikan atau Bantu pasien untuk melakukan latihan rentang
gerak aktif, pasif
Rasional : Memperkuat otot abdomen dan fleksor tulang
belakang, memperbaiki mekanika tubuh.
f. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan pertahanan
primer tidak adekuat ; prosedur infasif, insisi bedah.
Kriteria
Hasil :
Meningkatkan
waktu penyembuhan dengan tepat, bebas dari eritema dan tidak demam.
Intervensi :
1) Tekankan teknik mencuci tangan yang baik
Rasional
: Menurunkan resiko penyebaran bakteri.
2) Pertahankan teknik aseptik pada penggantian balutan dan
prosedur infasif.
Rasional
: Menurunkan resiko masuknya bakteri.
3) Monitor tanda-tanda vital, insist dan balutan, catat
karakteristik luka, adanya eritema.
Rasional : Memberikan
deteksi dini terjadinya proses infeksi.
4) Ganti
balutan sesuai indikasi.
Rasional: Balutan kotor memberikan media bagi pertumbuhan
bakteri.
5) Kolaborasi
pemberian antibiotik.
Rasional
: Untuk menurunkan jumlah organisme (pada infeksi yang telah ada sebelumnya),
untuk menurunkan penyebaran dan pertumbuhannya.
g. Resiko
tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan pembatasan
pemasukan cairan secara oral (prosedur medis/adanya rasa mual); kehilangan
darah selama pembedahan.
Kriteria Hasil :
Mendemonstrasikan
keseimbangan cairan yang adekuat, tanda – tanda vital stabil, turgor normal,
mukosa lembab, pengeluaran urine sesuai.
Intervensi :
1) Ukur dan catat pemasukan dan pengeluaran
Rasional : Dokumentasi
yang akurat akan membantu dalam mengidentifikasi pengeluaran cairan/kebutuhan
penggantian dan pilihan-pilihan yang mempengaruhi intervensi.
2) Periksa pembalut terhadap terjadinya perdarahan, kaji
luka untuk terjadinya pembengkakan.
Rasional : Perdarahan
yang berlebihan dapat mengacu kepada hipovolemia.
3) Pantau suhu kulit, palpasi denyut perifer.
Rasional : Kulit yang dingin dan lembab, denyut yang
lemah mengindikasikan penurunan sirkulasi perifer dan dibutuhkan untuk
penggantian cairan tambahan.
4) Kolaborasi pemberian cairan sesuai petunjuk, tingkatkan
kecepatan IV jika diperlukan.
Rasional : Menggantikan kehilangna cairan.
5) Pantau hasil laboratorium, misalnya Hb, Ht.
Rasional : Indikator hidrasi/volume sirkulasi.
h. Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan muntah, mual, gangguan peristaltik usus
Kriteria hasil:
1) Meningkatkan
masukan oral.
2) Menjelaskan faktor penyebab apabila diketahui.
Intervensi:
1) Tentukan
kebutuhan kalori harian yang adekuat, kolaborasi dengan ahli gizi.
Rasional : Mencukupi
kalori sesuai kebutuhan, memudahkan menentukan intervensi yang sesuai dan
mempercepat proses penyembuhan.
2) Jelaskan pentingnya nutrisi yang adekuat, negosiasikan
dengan klien tujuan masukan untuk setiap kali makan dan makan makanan kecil
Rasional : Pasien dapat mengontrol masukan nutrisi yang
adekuat sesuai kebutuhan, yang digunakan sebagai cadangan energi yang untuk
beraktivitas.
3) Timbang berat badan dan pantau hasil laboratorium
Rasional : Dapat digunakan untuk memudahkan melakukan
intervensi yang akurat dan sesuai dengan kondisi klien.
4) Anjurkan pasien untuk menjaga kebersihan mulut secara
teratur pantau pasien dalam melakukan personal hygiene.
Rasional : Meningkatkan nafsu makan dan memberi
kenyamanan dalam mengkonsumsi makanan sehingga kebutuhan kalori terpenuhi.
5) Atur rencana perawatan untuk mengurangi atau
menghilangkan ketidaknyamanan yang dapat menyebabkan mual, muntah, dan mengurangi
nafsu makan
Rasional : Menentukan intervensi yang sesuai meningkatkan
masukan oral.
i. Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan
kognitif, tidak mengenal sumber informasi.
Kriteria hasil:
Menuturkan pemahaman kondisi, efek prosedur dan pengobatan,
memulai perubahan gaya hidup.
Intervensi:
1) Kaji
ulang pemahaman pasien tentang diagnosis, prosedur bedah, rutinitas praoperasi
dan regimen pasca operasi.
Rasional : Beberapa orang merasakan informasi yang lengkap
sangat membantu; sedang yang lain lebih menyukai penjelasan yang singkat dan
sederhana.
2) Tinjau ulang dan minta orang terdekat untuk menunjukan
perawatan luka atau balutan jika diindikasikan.
Rasional : Meningkatkan
kompetensi perawatan diri dan meningkatkan kemandirian.
3) Tinjau ulang penghindaran faktor-faktor resiko, misalnya
pemajanan pada lingkungan.
Rasional : Mengurangi potensial infeksi yang diperoleh.
4) Sebelum
pasien dipulangkan, ajarkan tindakan pencegahan terhadap aktivitas, istirahat
maksimal, diit yang haurs dijalani.
Rasional : Informasi yang cukup memberikan pemahaman yang
adekuat bagi pasien untuk mendukung proses pengobatan.
(Doengoes,
2000; Swearingen,2001)
No comments :
Post a Comment