BAB I
KONSEP DASAR
A. Konsep Medis
1. Pengertian
Hipersensitifitas
atau alergi dapat didefinisikan sebagai setiap reaksi imunologi yang
menghasilkan kerusakan jaringan dalam individu.
Menurut Van Pirquet
( 1906 ) Hipersensitifitas atau alergi adalah suatu keadaan yang disebabkan
oleh reaksi imunologik spesifik yang ditimbulkan oleh alergen sehingga terjadi
gejala – gejala patologis.
Jenis – jenis Reaksi
Hipersensitifitas :
Reaksi Hipersensitifitas tipe I (
reaksi atopik atau anafilatik )
Ini merupakan
reaksi alergi yang diperantarai oleh antibodi IgE. Pada reaksi tipe I, antigen
terikat ke antibodi IgE. Kompleks IgE – Antigen menyebabkan degranulasi sel
mast dan pelepasan histamin, serta mediator peradangan lainnya. Mediator ini
menyebabkan vasodilatasi perifer dan pembengkakan ruang interstisium. Gejala –
gejala bersifat spesifik bergantung pada dimana respon alergi tersebut
berlangsung. Pengikatan antigen di saluran hidung menyebabkan rinitis alergi disertai kongesti hidung dan
peradangan jaringan, sementara pengikatan antigen disaluran cerna mungkin menimbulkan
diare atau muntah.
Suatu reaksi
hipersnsitivitas tipe I yang parah adalah reaksi anafilaktik. Anafilaktik
melibatkan respon cepat IgE. Sel mast setelah perjalanan ke suatu antigen
dimana individu sangat peka terhadapnya. Dapat terjadi dilatasi seluruh sistem
pembuluh akibat histamin sehingga tekanan darah kolaps. Penurunan hebat tekanan
darah selama reaksi anafilaktik disebut syok anafilaktik. Karena histamin
adalah konstriktor kuat bagi otot polos bronkiolus, maka anafilaksisjuga
merupakan penutupan saluran napas. Anafilaksis sebagai respon terhadap obat
misalnya penisilin atau sebagi respon terhadap sengatan lebah dan bersifat
fatal pada orang yang sangat peka.
Reaksi Hipersensitifitas tipe II (
reaksi sitotoksik atau sitolitik )
Hal ini terjadi sewaktu
antibodi IgG atau IgM menyerang antigen – antigen jaringan. Reaksi tipe II
terjadi akibat hilangnya toleransi diri dan dianggap suatu reaksi autoimun, sel
– sel sasaran biasanya dihancurkan. Pada reaksi tipe II, pengikatan antibodi –
antigen menyebabkan pengaktifan komplemen, degranulasi sel mast, oedema,
kerusakan jaringan, dan lisis sel. Reaksi tipe II menyebabkan fagositosis sel –
sel penjamu oleh makrofag.
Contoh – contoh
penyakit autoimun tipe II :
·
Penyakit
grave dimana terjadi pembentukan antibodi terhadap kelenjar tiroid.
·
Anemia
hemolitik autoimun dimana antibodi dibentuk terhadap sel darah merah.
·
Reaksi
tranfusi yang melibatkan pembentukan antibodi terhadap sel darah kotor.
·
Purpura
trombositopenik autoimun dimana terjadi pembentukan antibodi terhadap
trombosit.
Reaksi Hipersensitifitas tipe III (
reaksi Arthus atau komplek toksik )
Terjadi sewaktu
komplek antigen – antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap di pembuluh
darah atau jaringan sebelah hilir. Antibodi disini biasanya jenis IgG. Antibodi
tidak ditunjukan kepada jaringan tersebut tetapi terperangkap di dalam jaringan
kapilernya. Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen yang kemudian melepaskan
macrophage chemotaktik factor. Macrophage yang dikerahkan ke tempat tersebut
akan merusak jaringan sekitar tempat tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah
tersebut dan mulai memfagositosis sel – sel yang rusak sehingga terjadi
pelepasan enzim – enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan
siklus peradangan berlanjut.
Antigen dapat
berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten ( malaria ), bahan yang
terhirup ( spora jamur yang menimbulkan alveolitis ekstrinsik alergi ) atau
dari jaringan sendiri ( penyakit autoimun ) infeksi tersebut disertai dengan
antigen dalam jumlah yang berlebihan tetapi tidak disertai dengan respon
antibodi yang efektif.
Pembentukan
kompleks imun dalam pembuluh darah menjadikan antigen ( Ag ) dan antibodi ( Ab
) bersatu membentuk komplek imun mengaktifkan komplemen ( C ) dan melepas C3a
dan C5a yang merangsang leukosit basofil dan trombosit untuk melepas berbagai
mediator antara lain histamin yang menimbulkan pengerutan sel endotil sehingga
permeabilitas vaskuler meninggi.
Dalam keadaan
normal komplek imun dimusnahkan oleh sel fagosit mononuklear terutama dalam
hati, limpa, paru tanpa bantuan komplemen. Dalam proses tersebut ukuran
kompleks merupakan faktor penting. Pada umumnya kompleks yang besar, mudah dan
cepat dimusnahkan dalam hati, kompleks kecil sulit untuk dimusnahkan, oleh
karena itu dapat lebih lama ada dalam sirkulasi. Diduga bahwa gangguan fungsi
fagosit merupakan sebab mengapa komleks sulit dimusnahkan. Kompleks imun yang
ada dalam sirkulasi meskipun untuk jangka waktu lama, biasanya tidak berbahaya.
Permasalahan akan timbul bila kompleks imun mengendap di jaringan.
Contoh – contoh
reajsi hipersensitifitas tipe III :
·
Penyakit
Serum dimana terbentuknya antibodi terhadap darah asing, seiring sebagai respon
terhadap penggunaan obat IV, kompleks antigen – antibodi mengendap di sistem
pembuluh, sendi, ginjal, dan lain – lain.
·
Glomerulonefritis
dimana terbentuk kompleks antigen – antibodi sebagai respon terhadap suatu
infeksi, sering oleh bakteri streptokokus dan mengendap di kapiler glomerolus
ginjal.
·
Lupus
Eritematosus Sistemik dimana terbentuk kompleks antigen – antibodi terhadap
kolagen dan DNA sel dan mengendap di berbagai tempat di seluruh tubuh.
Reaksi Hipersensitifitas tipe IV (
reaksi seluler atau hipersensitifitas tipe lambat )
Reaksi tipe IV yang
juga disebut reaksi hipersensitifitas lambat, timbul lebih dari 24 jam setelah
tubuh terpapar oleh antigen. Reaksi terjadi karena respon sel T yang sudah
disensitasi bereaksi spesifik dengan suatu antigen tertentu sehingga
menimbulkan reaksi makrofag. Serta membentuk indurasi jaringan pada daerah
tempat antigen tersebut. Reaksi ini sama sekali tidak memerlukan antibodi
seperti pada ketiga tipe terdahulu, bahkan tidak memerlukan aktivasi komplemen.
Oleh karena itu itu
reaksi ini timbulnya agak lambat, sekitar 24 – 48 jam, maka secara klinis
reaksi dikenal dengan istilah hipersensitifitas tipe lambat. Ada dua macam
mekanisme yang turut berperan di dalam terbentuknya hipersensitifitas tipe
lambat lambat ini, yakni mekanisme aferen dan eferen. Mekanisme aferen
merupakan mekanisme spesifik dan timbul pada waktu sensitized lymphocyte cells
dengan resptor yang spesifik ; bereaksi dengan antigen tertentu sehingga sel
tersebut mengeluarkan mediator limfokin. Kemudian zat tersebut akan bekerja
secara non spesifik pada mekanisme aferen dan mempengaruhi limfosit, makrofag,
monosit.
Contoh – contoh
reaksi hipersensitifitas tipe IV :
·
Tiroiditis
autoimun dimana terbentuknya sel T terhadap jaringan, tiroid, penolakan tandur
dan tumor.
·
Reaksi alergi
tipe lambat, misal alergi terhadap poison IVX.
·
Uji kulit
tuberkulin, mengisyaratkan adanya imunitas selular terhadap hasil tuberkulosis.
2. Faktor
Predisposisi dan Presispitasi.
Pada kasus kelainan asthma diduga disebabkan karena
hipersensitifitas dari cabang – cabang bronchus. Pada individu – individu yang
rentan, lapisan dari cabang – cabang bronchiale tersebut akan menjadi lebih
sensitive. Kerentaan dari suatu individu kemungkinan diturunkan secara genetik.
Munculnya kerentaan ini disebabkan oleh adanya perubahan terhadap atau
rangsangan yang berlebihan dengan faktor – faktor lingkungan, seperti pemaparan
dengan bahan alergen atau iritan (Antony Crokett, 1997 : 9).
Pencetus atau rangsangan yang sering menimbulkan serangan
asthma perlu diketahui dan sedapat mungkin dihindari.
Faktor – faktor tersebut adalah :
a.
Faktor Ekstrinsik : reaksi
antigen-antibody;karena inhalasi alergen (debu, serbuk-serbuk, bulu-bulu
binatang, spora jamur, dan tepung sari rerumputan)Alergen utama : debu rumah,
spora jamur, dan tepung sari rerumputan.
b.
Faktor intrinsik : para influenza
virus, pneumonia, mycoplasmal.
c.
Kemudian dari faktor fisik : cuaca dingin,
perubahan temperatur.
d.
Iritan : kimia.
e.
Polusi udara : CO, asap rokok, parfum, bau – bauan, dan polutan.
f.
Infeksi saluran nafas oleh virus.
g.
Lingkungan kerja.
h.
Obat – obatan.
i.
Emosional : takut, cemas, dan tegang.
(Kernen Baratawidjaja 1990 ; 27).
j.
Aktifitas yang berlebihan juga dapat
menjadi factor pencetus.
Asthma sering dicirikan sebai alergi, idiopatik / non
alergi atau gabungan.
a.
Asthma alergik
Adalah asthma yang disebabkan oleh alergen.
b.
Asthma idiopatik
Adalah asthma yang tidak berhubungan dengan alergen spesifik misal
latihan, emosi.
c.
Asthma gabungan
Merupakan bentuk asthma yang paling umum.
Berdasarkan tingkat kegawatan asthma, maka asthma
dapat dibagi atas tiga tingkat.
a.
Asthma Bronchiale
Yaitu suatu bronkospasme atau penyempitan bronchus yang sifatnya
reversibel dengan latar belakang alergik.
b.
Status Asthmatikus
Yaitu asthma dengan intensitas serangan yang tinggi dan tidak
memberikan reaksi dengan obat – obatan yang konvensional.
c.
Astmatic Emergenci
Yaitu asthma yang dapat menyebabkan kematian.
(Tabrani Rob 1998 ; 575)
3 . Tanda dan Gejala
Gambaran klinis asthma adalah serangan episodik batuk
mengi dan sesak nafas. Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti
rasa berat di dada. Asthma yang gejalanya hanya batuk tanpa disertai mengi
dikenal dengan istilah Cough Variant Asthma. Pada asthma alergik juga
memberikan gejala terhadap faktor pencetus non alergik seperti asap dan lain –
lain.
(Heru Sundara 1996 ; 23).
4 . Patofisiologi
Sampai saat ini patofisiologi maupun etiologi asthma
belum diketahui secara pasti. Berbagai teori tentang patofisiologi telah
diajukan, tapi yang paling disepakati banyak ahli adalah yang berdasarkan
gangguan saraf autonom dan system imun.
Beberapa individu dengan asthma mengalami respon imun
yang buruk terhadap lingkungan mereka. Antibody yang dihasilkan imunoglobulin
(IgE) kemudian menyerang sel – sel mastosit dalam paru. Perjalanan ulang
terhadap antigen dengan antibody, menyebabkan pelepasan produk sel – sel mastosit (disebut mediator) seperti
histamin bradikinin dan prostaglandin. Pelepasan mediator ini dalam jaringan
paru – paru mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan nafas, menyebabkan
broncospasme, pembengkakan membran mukosa dan pembentukan mucus yang banyak.
Sistem syaraf otonom mempersarafi paru. Tonus
otobronchiale diatur oleh impuls saraf vagal melalui sistem parasimpatis. Pada
asthma idiopatik atau non alergi, ketika ujung saraf pada jalan nafas
dirangsang factor seperti : infeksi, latihan, dingin, merokok, emosi dan
polutan, jumlah asetilkolin ini secara langsung menyebabkan bronkotriksi juga
merangsang pembentukan mediator kimiawi. Individu dengan asthma dapat mempunyai
toleransi rendah terhadap respon parasimpatis.
Selain itu, reseptor α dan β
adrenergik dari system saraf simpatis terletak dalam bronchi. Ketika reseptor α adrenergik
dirangsang, terjadi bronchokontriksi, bronchodilasi terjadi jika reseptor β adrenergik
dikendalikan terutama oleh siklik adrenosin monofosfat (CAMP). Stimulasi reseptor α mengakibatkan
penurunan CAMP yang mempengaruhi pada peningkatan mediator kimiawi yang
dilepaskan oleh sel – sel motosit bronkoskontriksi. Stimulasi reseptor β mengakibatkan
peningkatan CAMP, yang menghambat pelepasan mediator kimia dan menyebabkan
bronkodilasi.
(Burner
& Suddar 2007 ; 911)
5 . Penatalaksanaan
Prinsip utama asthma adalah :
a.
Menghilangkan obstruksi jalan nafas dengan
segera.
b.
Mengenal dan menghindari factor – factor
yang dapat mencetuskan asthma.
c.
Memberikan penerangan kepada penderita
atau keluarga mengenai penyakit asthma.
d.
Pengobatan
Pengobatan ada 2 yaitu : dengan cara farmakologi dan non farmakologi.
ü
Pengobatan asthma dengan farmakologi ada 4
yaitu :
1.
Teofilin, sebagai bronkodilator dengan
sedikit efek rangsangan pusat.
2.
Anti Kalinergik sebagai bronkodilasan yang
menghambat jalan nafas pasca ganglionik sehingga mengurangi bronkokontriksi.
3.
Disodium Karamoglikat dan Sodium
Nedokromil, anti inflamasi sebagai pencegahan.
ü
Pengobatan dengan non farmakologi melalui
inhalasi uap.
v
Inhalasi Uap
·
Pengertian Inhalasi Uap
Adalah menghirup uap dengan atau tanpa obat.
·
Indikasi Inhalasi Uap yaitu :
-
Klien dengan batuk berdahak.
-
Klien sesak nafas.
·
Manfaat Inhalasi Uap
-
Dahak menjadi encer.
-
Mengobati sesak nafas.
KONSEP KEPERAWATAN
A. Pengkajian
·
Riwayat asthma atau alergi dan seranga
asthma yang lalu, alergi dan masalah pernafasan.
·
Kaji pengetahuan anak dan orang tua
tentang penyakit dan pengobatan .
·
Fase akut ; tanda – tanda vital,
pernafasan, retraksi dada, penggunaan otot – otot asesoris pernafasan, cuping
hidung, pulse oximetri.
·
Suara nafas ; wheezing, menurunya suara nafas.
·
Kaji status neurology, perubahan
kesadaran, meningkatnya fatigue, perubahan tingkah laku.
·
Riwayat psikososial ; factor pencetus ;
stress, kebiasaan dan rutinitas, perawatan sebelumnya,
B. Diagnosa
Keperawatan
Masalah yang muncul antara lain :
a.
Gangguan pertukaran gas, tidak efektif
bersihan jalan nafas, dan tidak efektif pola nafas berhubungan dengan
bronkospasme, edema mukosal dan meningkatnya secret.
b.
Fatigue berhubungan dengan hypoksia dan
meningkatnya usaha nafas.
c.
Kecemasan berhubungan dengan hospitalisasi
dan distress pernafasan.
d.
Risiko kurangya volume cairan berhubungan
dengan meningkatnya pernafasan dan menurunya intake cairan.
e.
Perubahan proses keluarga berhubungan
dengan kondisi kronik.
f.
Kurangya pengetahuan berhubungan dengan
proses penyakit dan pengobatan.
C. Perencanaan
a.
Anak tidak menunjukan gangguan
keseimbangan asam basa yang ditandai dengan saturasi oksigen lebih kurang 95 %.
b.
Anak tidak tampak fatigue yang ditandai
dengan tidak iritabel, dapat berpartisipasi dan aktivitas yang sesuai dengan
kondisi.
c.
Kecemasan menurun yang ditandai dengan
anak tenang dan dapat mengekspresikan perasaanya, begitu juga orang tua merasa
tenang dan berpartisipasi dalam perawatan anak.
d.
Status hidrasi adekuat yang ditandai
dengan turgor kulit elastis, membran mukosa lembab, intake cairan sesuai dengan
usia dan berat badan, out-put urine lebih dari 2 ml /kg per jam.
e.
Orang tua mendemonstrasikan koping yang
tepat yang ditandai dengan mengekspresikan perasaan dan perhatian serta
memberikan aktivitas yang sesuai usia atau kondisi dan perkembangan psikososial
pada anak.
f.
Orang tua secara verbal memahami proses
penyakit dan pengobatan dan mengikuti regimen terapi yang diberikan.
D. Implementasi
a.
Mempertahankan pertukaran gas yang adekuat
dan pembersihan jalan nafas.
·
Pertahankan kepatenan jalan nafas;
pertahankan support ventilasi bila diperlukan.
·
Kaji fungsi pernafasan; auskultasi bunyi
nafas, kaji kulit setiap 15 menit sampai 4 jam.
·
Berikan oksigen sesuai program dan pantau
pulse oximetri dan batasi (penyapihan) atau tanpa alat bantu bila kondisi telah
membaik.
·
Kaji kenyamanan posisi tidur anak.
·
Monitor efek samping pemberian pengobatan;
monitor serum darah; theophyline dan catat kemudian laporkan ke dokter.
Normalnya 10 – 20 ug/ml pada semua usia.
·
Berikan cairan yang adekuat per oral atau
parenteral.
·
Pemberian terapi pernafasan; nebulizer,
fisioterapi dada bila indikasi, ajarkan batuk dan nafas dalam efektif setelah
pengobatan dan pengisapan secret (suction).
·
Jelaskan semua prosedur yang akan
dilakukan pada anak untuk menurunkan kecemasan.
·
Berikan terapi bermain sesuai usia.
·
ÿÿÿÿÿÿÿÿ20ÿÿj
ÿÿ5ÿÿÿÿÿslmult1ÿÿjcliÿÿtabMemberikan istirahat yang cukup, mencegah
hypoksia, dan mengurang kerja berat pernafasan.
·
Kaji tanda dan gejala hypoksia;
kegelisahan, fatigue, iritabel, tachycardia, tachypnea.
·
Hindari seringya melakukan intervensi yang
tidak penting yang dapat membuat anak lelah, berikan istirahat yang cukup.
·
Instruksikan pada orang tua untuk tetap
berada didekat anak.
·
Berikan kenyamanan fisik; support dengan
bantal dan pengaturan posisi.
·
Berikan oksigen humidifikasi sesuai
program.
·
Berikan nebulizer; kemudian pantau bunyi
nafas, dan usaha nafas setelah terapi.
·
Setelah krisis, ajarkan untuk aktivitas
yang sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan untuk meningkatkan
ventilasi, dan memperluas perkembangan psikososial.
b.
Memberikan lingkungan yang tenang dan
mengurangi kecemasan.
·
Ajarkan teknik relaksasi; latihan nafas,
melibatkan penggunaan bibir dan perut, dan ajarkan untuk berimajinasi.
·
Pertahankan lingkungan yang tenang; temani
anak, dan berikan support.
·
Ajarkan untuk ekspresi perasaan secara
verbal.
·
Berikan terapi bermain sesuai dengan
kondisi.
·
Informasikan tentang perawatan, pengobatan
dan kondisi anak.
·
Jelaskan semua prosedur yang akan
dilakukan.
c.
Berikan hidrasi yang adekuat.
·
Monitor intake dan out put (pemasukan dan
pengeluaran), mukosa membran, turgor kulit, pengeluaran urine, ukur grafitasi
urine atau berat jenis urine (nilai 1.003 – 1.030).
·
Monitor elektrolit.
·
Kaji warna sputum, konsistensi dan jumlah.
·
Pertahankan terapi parenteral bila indikasi,
dan monitor kelebihan (overload) cairan.
·
Berikan intake cairan per oral bila
toleran, hati – hati minuman yang dapat meningkatkan bronkospasme (air dingin).
·
Setelah fase akut, ajarkan anak dan orang
tua untuk minum 3 – 8 elas (750–2000 ml), tergantung usia dan berat badan.
d.
Mengkaji proses koping keluarga.
·
Berikan kesempatan pada orang tua untuk
ekspresi perasaan.
·
Kaji mekanisme koping sebelumnya pada
waktu stress.
·
Jelaskan prosedur dan pengobatan yang
diberikan.
·
Informasikan pada orang tua tentang
kondisi anak.
·
Identifikasi sumber-sumber psikososial
keluarga dan finansial.
e.
Memberikan informasi tentang proses
penyakit, perawatan dan pengobatan.
·
Kaji tingkat pengetahuan anak dan orang
tua tentang penyakit, pengobatan, dan intervensi.
·
Bantu untuk mengidentifikasi faktor
pencetus.
·
Jelaskan tentang emosi dan stress yang
dapat menjadi factor pencetus.
·
Jelaskan pentingya pengobatan; dosis, efek
samping, waktu pemberian dan pemeriksaan darah.
·
Informasikan tanda dan gejala yang harus
dilaporkan dan kontrol ulang.
·
Informasikan pentingnya program aktivitas
dan latihan nafas.
·
Jelaskan pentingya terapi bermain sesuai
usia.
DAFTAR PUSTAKA
a.
Crockett, Anthony 1997 ; Penanganan Asthma
Dalam Perawatan Primer, alih bahasa Erlan, editor Sandi Qlintang, Hipokrates,
Jakarta.
b.
Soeparman 1990 ; Ilmu Penyakit Dalam Jilid
II. Balai Pustaka FKUI, Jakarta.
c.
Carpenito L. Jual 1990 Buku Saku, Dokumen
Keperawatan Edisi 8, Edisi Bahasa Indonesia, Monica Ester EGC, Jakarta.
Pada kasus ITP biasanya tidak diketahui penyebabnya
( idiopatik ) tetapi dapat terlihat bersamaan dengan penyakit lain, misalnya
leukimia, limfositik kronis, penyakit hodgin, anemia haenolitik otoimun.
3. Patofisiologi
Sensitasi trombosit dengan – otoantibodi ( IgG )
mengakibatkan penarikan diri dari sirkulasi oleh sel sistem retikulo –
endotelial. Trombosit yang sedikit disensitasasi terutama dirusak dalam limpa
tetapi trombosit yang disenitasi berat atau trombosit yang dibungkus komplemen
sebagaimana IgG dirusak diseluruh sistem retikulo – endotelial terutama dalam
hati.
Pathways
Kompleks
Antigen – Antibodi
Aktivitas
Komplemen Agregasi Platelet Aktivasi
faktor
Hageman
Faktor
Kemotaktik Pembentukan Pembentukan
Anafiltoksin
Mikrotrombi
Agregasi Iskemia
Neutrofil
Fagositosis
Kompleks Pelepasan Aktivasi kinin
Vasoaktimin
Pelepasan
enzim Vasodilatasi dan
Lisosomal
dan radikal edema
Bebas
Nekrosis
4. Manifestasi Klinik
ITP banyak terjadi
pada masa kanak – kanak, tersering dipresipitasi oleh infeksi virus dan
biasanya dapat sembuh sendiri. Sebaliknya, pada orang dewasa biasanya menjadi
kronik dan jarang mengikuti suatu infeksi virus.
Pasien secara umum tampak
baik dan tidak demam. Keluhan yang dapat ditemukan adalah peradangan mukosa
kulit. Peradangan yang paling umum adalah epistasis, peradangan mulut,
menarogia, purpura dan patakie.
Pada pemeriksaan
fisik terlihat pasien dalam keadaan baik dan tidak terdapat penemuan abnormal
lain, selain yang berhubungan dengan perdarahan.
5. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan trombosit (
10.000 / ml ). Hitung jenis lain normal, kecuali kadang – kadang dapat terjadi
anemia ringan yang disebabkan oleh perdarahan atau berhubungan dengan hemoliss.
Pemeriksaan
morfologi sel darah normal, kecuali trombosit yang membesar ( megakariosit ).
Megakariosit ini merupakan trombosit yang dihasilkan sebagai respon terhadap
distruksi trombosit.
Pada pemeriksaan
sumsum tulang terlihat normal dengan jumlah megakariosit normal atau meningkat.
Tes koagulasi terlihat mendekati normal. Meskipun tes resbut sangat
sensitif ( 95% ) namun sangat tidak
spesifik dan 50% dari semua pasien dengan trombositopenia dari berbagai sebab
dapat mempunyai peningkatan IgG trombosit.
6. Penatalaksanaan Medis
a. Beberapa pasien ITP mengalami remisi spontan dan
sebagian besar akan memerlukan pengobatan – pengobatan inisial dengan prednison
1 – 2 mg/kg BB. Prednison bekerja pertama kali dengan menurunkan afinitas
makrofag dari limpa untuk coated trombosit. Dosis tinggi prednison dapat juga
menurunkan ikatan antibodi pada permukaan trombosit dan terapi jangka panjang
menurunkan antibodi. Dosis pemeliharaan prednison ditujukan untuk tetap
mempertahankan trombosit yang stabil. Resiko perdarahan kecil dengan trombosit
> 50.000 / ml.
b. Splenektomi merupakan terapi definitif bagi pasien
ITP dewasa. Slienektomi dapat tetap aman meskipun trombosit < 10.000 / ml.
Sekitar 80% dari pasien splenektomi akan mengalami remisi baik parsial atau
sempurna.
c. Imunoglobulin dosis tinggi IV ( 400 mg/kg BB )
selama 3 – 5 hari, mempunyai efektifitas tinggi ( 90% ) dalam meningkatkan
hitung trombosit dengan cepat, yaitu 1 – 5 hari. Namun pengobatan ini sangat
mahal dan efeknya berakhir hanya 1 – 2 minggu. Terapi imunoglobulin harus
diberikan pada situsi gawat darurat seperti persiapan operasi pada pasien
dengan trombositopenia berat.
d. Pada pasien yang gagal, baik terapi prednison atau
splenektomi, dapat digunakan danazol 600 mg/hari yang telah berespon terhadap
50% kasus.
e. Imunosupresif seperti vinkristin, infus
vinsbiatin, azatioprin dan sikloposfamid dapat digunakan pada kasus – kasus
refrakter.
f.
Tranfusi
trombosit, jarang diberikan pada pengobatan ITP. Tranfusi hanya diberikan pada
kasus – kasus perdarahan berat yang mengancam jiwa untuk mempertahankan
kemantapan hemostatik.
B. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian
Obsevasi / temuan :
· Perdarahan mukosa dan kulit
· Perdarahan mulut
· Patekia
· Epistaksis
· Menurogia
· Hematuria
· Muntah berwarna hitam kopi atau hematemesis
· Perdarahan gusi
· Ekstremitas nyeri
· Riwayat keluarga perdarahan.
2. Diagnosa Keperawatan
Dx. Keperawatan 1 :
Perubahan perlindungan yang berhubungan dengan
abnormal profil darah ( trombositopenia ).
Dx. Keperawatan 2 :
Perubahan membran mukosa oral berhubungan dengan
cedera fisik dibuktikan oleh bula yang berisi darah.
Dx. Keperawatan 3 :
Nyeri berhubungan dengan
agen fisik yang diakibatkan dari tekanan syaraf sekunder terhadap perdarahan.
Dx. Keperawatan 4 :
Kurang pengetahuan
berhubungan dengan kurang mendapat informasi yang akurat mengenai proses
penyakit, nutrisi, aktifitas dan pengobatan.
3.
Perencanaan ( NCP )
Dx. Keperawatan 1
Perubahan perlindungan
yang berhubungan dengan abnormal profil darah ( trombositopenia )
Tujuan dan Kriteria Hasil
a. TTV pasien stabil
b. Tidak ada bukti perdarahan
c. Pemeriksaan urin dan feses menunjukan perdarahan (
- )
d. Sistem pernafasan dan neurologi tidak menunjukan
perdarahan
Intervensi
a. Pertahankan tirah baring bila terjadi perdarahan
b. Periksa urin dan feses terhadap perdarahan setiap
hari
c. Kaji status neurologis setiap 2 – 4 jam
d. Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi nafas
e. Hindari trauma untuk menghindari perdarahan
f.
Berikan
tranfusi darah trombosit bila dipesankan. Berikan trombosit yang cepat melalui
selang yang dianjurkan untuk mencegah destruksi
g. Berikan terapi kortikosteroid dan terapi imunosupresif
sesuai pesanan
h. Hindari penggunaan antihistamin, fenofiozin,
aspirin dan agen anti inflamasi non steroid pada ITP
i.
Pantau
pemeriksaan laboratorium
j.
Periksa TTV
meliputi TD, S, N setiap 1 jam
Dx. Keperawatan 2
Perubahan memran mukosa oral berhubungan
cedera fisik dibuktikan oleh bula yang berisi darah.
Tujuan dan Kriteria Hasil
a. Tidak terdapat bula di rongga mulut
b. Pasien mendapatkan diet cairan seimbang
c. Berat badan stabil
Intervensi
a. Kaji integritas membran mukosa tiap 4 jam
b. Berikan oral hygine hati – hati sebelum dan
sesudah makan tiap 2 – 4 jam
c. Pertahankan diet yang disukai atau dipesan dengan
menghindari penggunaan makanan yang keras, garing atau sukar untuk dikunyah
untuk mencegah trauma
d. Berikan cairan yang dipilih sampai 2500 ml setiap
hari kecuali ada kontra indikasi
e. Ukur masukan dan haluaran tiap 8 jam
f.
Timbang pasen
tiap haridengan pakaian dan timbangan yang sama
Dx. Keperawata 3
Nyeri berhubungan dengan agen fisik
yangb diakibatkan dari tekanan syaraf sekunder terhadap perdarahan.
Tujuan dan Kriteria Hasil
a. Pasien dapat menangani aktivitas tanpa atau dengan
tidak nyaman.
b. Wajah dan postur tetap rileks.
Intervensi
a. Kaji nyeri meliputi : lokasi, durasi, intensitas
faktor predisposisi setiap 6 jam.
b. Baringkan pasien untuk memberikan rasa nyaman
dengan menggunakan bantal.
c. Siapkan tempat tidur yang dapat diatur untuk
mencegah konstriksi.
d. Gunakan tindakan penghilang rasa nyeri melalui
relaksasi, terapi musik, panduan imajinasi dan sentuhan.
e. Pantau aktivitas analgesik bila diberikan.
Dx. Keperawatanh 4
Kurang pengetahuan berhubungan dengan
kurang mendapat informasi yang akurat mengenai proses penyakit, nurisi,
akyivitas, pengobatan.
Tujuan dan Kriteria Hasil
a. Pasien dan atau orang terdekat mengungkapkan
pemahaman tentang perawatan dirumah dan intruksi tindak lanjut.
b. Mendemonstrasikan metode untuk mendeteksi adanya
perdarahan termasuk pemeriksaan urin dan feses.
c. Dapat mendemonstrasikan oral hygine dan tindakan
perawatan kulit.
Intervensi
a. Proses penyakit
· Bicarakan tanda dan gejala kekambuhan untuk
dilaporkan pada dokter antara lain : sakit kepala yang berkepanjangan, batuk
dengan sputum berdarah, muntah darah segar atau hitam kopi.
· Ingatkan pasien untuk tidak mendonorkan darahnya.
· Jelaskan perlunya pencegahan trauma dengan
menghindari :
o
Konstipasi
melalui diet, cairan laksatve.
o
Dengan hati –
hati memindahkan atau memegang benda yang mungkin dapat menyebabkan perdarahan.
o
Gunakn produk
dan perawatan kulit yang non-abrasif.
b. Nutrisi
· Jelaskan pentingnya hygine oral yang teratur.
· Jelaskan mempertahankan diet yang seimbang dan
hidrasi adekuat.
· Diskusikan tentang makanan yang harus dihindari
untuk mencegah trauma.
c. Obat – obatan
· Ajarkan tentang nama obat, dosis, waktu pemberian,
tujuan dan efek samping.
· Ajarkan cara membaca isi dari obat yang dijual
bebas dan menghindari obat – obat yang mengandung asam asetil salisilat (
antihistamin, fenotiazin dan agen anti inflamasi non steroid pada ITP ).
PENUTUP
Dari hasil makalah yang telah dibuat yentang askep
pada pasien dengan ITP dapat diambil kesimpulan.
A. Kesimpulan
1. Proses keperawatan merupakan merupakan suatu
sarana untuk membantu perawat guna mencapai perawat yang berkualitas efektif
dan efisien yang diharapkan dapat meningkatkan mutu askep.
2. dalam membuat makalah ini pada pasien dengan ITP
menggunakn pola pengkajian fungsional yang sengat membantu.
3. ITP merupakan salah satu penyakit gangguan
imunologi.
4. ITP dapat menyebabkan perdarahan dibagian tubuh
tertentu.
5. ITP tergolong dalam hipersensitifitas tipe ke II.
6. Pada ITP kronik tidak berespon terhadap prednisaon
dan splenektomi.